Tuesday, April 22, 2008

Panen Tengkulak di Panen Raya
M Dindien Ridhotulloh
Seorang petani merontokkan bulir padi saat panen di Desa Bojong Keding, Subang,Jawa Barat.
(iPhA/Wirasatria)
INILAH.COM, 22 April 2008, Jakarta � Ironi tentang petani di negeri ini masih menari-nari. Kini, memasuki masa panen raya padi, yang merayakannya lagi-lagi ya para tengkulak. Petaninya? Capek menanam, menikmati sedikit, selebihnya gigit jari.

Tengok yang terjadi di pesisir utara Jawa Barat. Sejumlah pemilik lahan sawah di Kabupaten Subang, misalnya, mulai ramai didatangi tengkulak. Odong, 49, mengaku sepekan terakhir disambangi para pedagang beras. Mereka merajuk agar ia menjual hasil panennya dengan tawaran lebih tinggi dari harga Bulog.

�Sebagian saya jual karena harganya tinggi. Sementara HPP (harga pokok pembelian) dari pemerintah belum naik. Kami butuh dana segera untuk modal tanam,� tutur Odong saat dihubungi INILAH.COM, Sabtu (19/4).

Petani rata-rata melepas beras di level Rp 4.100-4.200 per kilogram. Selisih Rp 100-an dari harga Bulog. Selain mendatangi petani, pedagang besar juga terus mendatangi penggilingan padi untuk memburu beras.

Belum jelas alasan pembelian besar-besaran yang dilakukan para tengkulak. �Katanya untuk dikirim ke Jakarta,� timpal Odong, warga Cibogo, Subang.

Tapi, tentu, tak mustahil para tengkulak itu berniat menimbun beras. Apalagi, mereka pasti tahu pemerintah akan menaikan HPP beberapa hari mendatang. Jadi, dengan memborong langsung ke petani sekarang, dalam tempo relatif singkat para tengkulak itu bisa menangguk untung �segunung�.

Indikasi praktik menimbun beras makin kentara karena para pengusaha besar membeli beras yang berkualitas sama dengan beras kualitas Bulog, yaitu medium. Padahal, beras untuk pasaran Jakarta dan ekspor umumnya adalah medium super yang harganya berkisar Rp 4.200-Rp 4.300 per kilogram.

Sejak sepekan lalu, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani memang melonjak tajam seiring munculnya isu kenaikan HPP sepekan lalu. Petani mengaku sudah mendengar rencana kenaikan itu ketika harga gabah GKP masih Rp 2.000 per kilogram.

Dugaan lain muncul. Para tengkulak yang datang dengan modal lebih dari cukup itu hendak melakukan ekspor beras tanpa izin ke sejumlah negara. Maklum, harga dan permintaan beras di pasar global memang sdang melangit.

Maret lalu, harga beras di pasar global dengan patahan 25% sudah mencapai lebih dari US$ 500 per ton. Di dalam negeri, harga beras dengan mutu yang sama Rp 5.000 per kilogram atau US$ 400 per ton.

Bahkan, awal April, harganya melonjak lagi sampai ke angka US$ 750 per ton. Sementara di dalam negeri Rp 5.600-an per kilogram.

H Tholib, pemilik penggilingan di Gegesik, Cirebon, menyebutkan bahwa sepekan terakhir sejumlah pedagang beras datang ke pabriknya untuk memborong beras dengan tawaran harga Rp 4.100 per kilogram.

"Pedagang itu hanya mengatakan mereka akan menjual kembali beras itu ke Jakarta. Belum jelas apakah memang langsung masuk pasar atau dijual lagi antar pulau," kata Tholib sebagaimana dikutip Antara.

Selama ini, peran tengkulak memang belum bisa dilepaskan dari kehidupan petani, bahkan condong sudah pula jadi mitra Bulog.

Semua itu terjadi karena kepemilikan lahan areal padi di Indonesia relatif kecil. Akibatnya, seorang petani di saat panen tetap memerlukan peran tengkulak, khususnya untuk mengumpulkan gabah sebelum diangkut ke penggilingan.

Dalam perkembangannya, pengusaha padi maupun Bulog memang bisa kerepotan jika bekerja tanpa campur tangan para tengkulak. Mereka, misalnya, harus mendatangi satu per satu petani untuk melakukan penawaran.

Belum lagi jika terlalu sedikit jumlah gabah yang didapat. Biaya transpor membengkak dan tidak ekonomis. Jadi, faktanya, keberadaan tengkulak membantu memperlancar pengadaan gabah.

Selain masalah waktu, tengkulak juga mamp menilai mutu gabah dari sisi kadar air, gabah kosong, atau kotoran. Dengan begitu, gabah yang mereka setor ke penggilingan sudah bisa dipercaya kualitasnya.

Di balik itu, tengkulak seringkali menjadi profesi yang dicap sebagai penyebab panjangnya mata rantai tata niaga gabah. Sebab, memang, tak jarang para tengkulak mengambil keuntungan tak wajar alias marginnya terlalu besar.

Apa yang seharusnya jadi jatah petani dalam mata rantai produksi beras akhirnya diambil alih tengkulak. Kadang posisi tawar petani yang lemah membuat tengkulak sering menawar harga sangat rendah dan petani tak berdaya.

Malah tak jarang para tengkulak berani memberikan pinjaman dana awal bercocok tanam padi. Jika itu yang terjadi, si petani tak bisa menjual hasil panennya kepada pihak lain. Harganya, tentu, ditentukan sang tengkulak.

Ironi tentang kehidupan petani memang masih menari-nari. Masih sering menyayat hati. Masa panen raya padi seperti sekarang pun belum bisa mereka sambut dengan berseri-seri. Sebab, di depan hidung mereka, catatan utang dan para tengkulak sudah menanti. [I3]



Baca juga berita seputar beras:

1. Harga beras untungkan petani Thailand :

2. HPP tak ubah wajah petani:

3. Krisis pangan di ujung pemerintahan SBY-JK:


Dicari:
Informasi sekitar varietas beras yang kemarin di panen oleh SBY, jenis baru Super Toy HL2, saya coba cari informasi dari berbagai sumber ternyata belum bisa menemukan teknik budidayanya. Sepertinya informasi yang dilansir oleh Kompas (21 April 2008) - bukanlah persilangan dari jenis pandan wangi atau lainnya. Mohon kalau ada informasi tentang bududaya beras ini bisa disharingkan ke email kami: jakerpo@yahoo.com

Alert: Revolusi Hijau babak baru di Indonesia - Quo Vadis Pertanian Berkelanjutan ??
Penanaman padi Super Toy HL2 sepertinya menjadi bagian dari Revolusi Hijau babak baru di Indonesia. padi dengan hasil panen 15 ton per hektar, sama produksinya dengan padi hibrida yang dikembangkan di Vietnam dan China. Hal ini akan banyak menyedot unsur hara dan pemakaian pupuk sintetis yang berlebihan. Banyak pemerintah daerah mulai melirik jenis padi ini dan akan dengan cepat menyebar ke semua daerah Quo Vadis . . . . . .


No comments:

Post a Comment